The Child with Special Needs

Saya Dwi Rosita sebagai mahasiswi psikologi terketuk hati untuk menulis blog mengenai mereka yang menurut saya teramat luar biasa. Mereka yang membuat saya semakin bersyukur atas apa yang Tuhan berikan.
Mengapa?
Rabu lalu saya mengunjungi SLB Negeri Bogor di daerah Cibinong. Awalnya saya ragu untuk masuk pintu gerbang sekolah ini, karena jika saya masuk hanya hitungan beberapa menit bel sekolah sudah dibunyikan. Tepat waktu menunjukkan pukul 11.00 waktu mereka pulang sekolah. Tetapi rasa penasaran saya membawa saya untuk tetap masuk, mungkin hanya sekedar berkunjung dan melihat suasana mereka di sekolah. Setelah memasuki pintu gerbang terlihat para orang tua yang sedang menunggu anak-anak mereka. Tak lama kemudian murid-murid SLB pun keluar dari kelasnya dan aku berdiri tepat di depan halaman sekolah yang ukurannya tidak begitu luas. Bagi saya bisa melihat mereka dan sekedar bertegur sapa saja itu sudah cukup senang.

Saya menemui banyak anak berkebutuhan khusus seperti Tunarungu, Tunadaksa, Tunanetra, Down syndrome, Tunaganda, Tunalaras, dan Tunagrahita. Tiba-tiba sosok laki-laki dengan paras wajah tampan dengan kumis tipis, berkulit putih dengan tubuh yang mungil menghampiri saya dan berjabat tangan lalu berbicara “pulang ya sudah pulang” (dengan suara samar-samar) dan saya hanya bisa tersenyum. Agam namanya, saya tahu nama itu setelah salah seorang ibu memanggil si anak tersebut. Setelah saya tanya pada ibu itu Agam mengalami keterbatasan saat berbicara dan memiliki IQ dibawah rata-rata. Sosok yang terlihat sangat normal tetapi nyatanya tidak. Bagi orang awam seperti saya, saat kali bertemu dengan Agam tidak akan mengira bahwa dia berkebutuhan khusus. Sopan santunnya membuat saya semakin salut akan softkill yang dimilikinya.

Saya menghampiri salah satu orang tua bersama dengan anaknnya dan memberika sebuah permen lolipop untuk anaknya. Awal pembicaraan saya mulai dengan perkenalan ringan dengan orang tua anak dan setelah berbicara lama dengan orang tuanya saya mulai mencoba berkomunikasi dengan anak tersebut. Saya lebih dominan berbicara dengan ibu kandungnya, bertanya ke anaknya hanya sekedar pertanyaan simple karena ia juga masih dibantu ibunya saat berbicara. Sulit memang untuk bisa berkomunikasi sekaligus memahami perkataannya dengan jelas namun bagi saya itu hal yang seru. Namanya Masitoh, ia salah seorang siswi Tunagrahita umurnya 20 tahun tetapi ia masih kelas 6 SD. Saya terkejut mendengar pernyataan dari ibu kandungnya bahwa Masitoh berumur 20 tahun. Wah rasa penasaran saya semakin meluap. Menurutku, beliau merupakan sosok ibu kandung yang sabar, kuat, serta tak kenal lelah demi menyekolahkan anaknya supaya bisa menjadi anak yang berkualitas.

Masitoh sudah ditinggal ayah nya sejak ia balita. Perbincangan saya dengan orang tua Masitoh sangat mengharukan. Bayangkan saja, usia beliau sudah paruh baya dan dengan sabarnya beliau mengurus Masitoh seorang diri. Ia benar-benar ibu yang sempurna. Hal yang membuat saya terharu yaitu saat  Masitoh menggenggam erat tangan saya, memeluk, dan berkata “ayuk ka main ka” dengan nada bicaranya yang samar membuat hati saya tersentuh. Ya Allah pengalaman kali pertama saya dipeluk dengan sosok mungil yang memiliki keterbatasan mental. Sengaja saya tidak mengambil moment dengan foto bersama mereka karena tak semua orang tua mengizinkan anak-anaknya di expouse di media sosial. Jadi saya tidak bisa menunjukkan foto-foto saya saat berada di sana.

Mari kita buka mata untuk tidak memandang mereka sebelah mata. Jangan lagi takut untuk berinteraksi dengan mereka toh mereka sama seperti kita bukan? Hanya saja mereka makhluk yang tuhan ciptakan yang di design begitu special dibanding kita manusia normal. Jangan lagi skeptis memandang mereka, lakukanlah sama adil jangan memojokkan yang membuat dia semakin tertekan dengan lingkungannya.

Mari kita renungkan sejenak...
Mereka mampu berkarya, mereka mampu mengembangkan potensi SDM yang dimilikinya, mereka memiliki softkill. Oleh karena itu berlakulah muhanisasi, perbedaan membuat hidup ini semakin berwarna bukan? The best way to be happy is to turn the negatives into possitives, don’t let anyone steal your joy, and be thankful for what you have.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

APA ITU SISTEM INFORMASI PSIKOLOGI?

5 Tokoh Psikologi Indonesia

ILMU ALAMIAH DASAR